
Jakarta, 17 Juli 2025 — Ketimpangan sosial yang semakin lebar mendorong perlunya reformasi kebijakan publik dan tata kelola pemerintahan di Indonesia. Kesenjangan pendapatan, terbatasnya akses terhadap layanan dasar seperti pendidikan dan kesehatan, serta timpangnya peluang ekonomi antar kelompok masyarakat dinilai sebagai bukti lemahnya sistem pengelolaan negara saat ini.
Menurut pengamat kebijakan publik Hara Nirankara, ketimpangan sosial di Indonesia tidak hanya disebabkan oleh faktor ekonomi, tetapi juga karena proses pengambilan keputusan yang tidak partisipatif dan kebijakan yang tidak berpihak pada masyarakat rentan. Ia mencontohkan pengesahan Undang-Undang Cipta Kerja (UU Ciptaker) sebagai bentuk nyata dari tata kelola yang tidak adil.
"UU Cipta Kerja disahkan tanpa partisipasi publik yang memadai, dan justru memberikan celah eksploitasi terhadap buruh. Hal ini mencerminkan lemahnya prinsip checks and balances dalam legislasi kita," ujar Hara.
UU Ciptaker dan Dampaknya pada Buruh
UU Ciptaker menghapus batas waktu kontrak PKWT (Perjanjian Kerja Waktu Tertentu) dan memperluas skema outsourcing ke seluruh jenis pekerjaan. Akibatnya, buruh semakin rentan kehilangan status karyawan tetap dan jaminan kerja jangka panjang.
Kasus mogok kerja buruh outsourcing di PT Pertamina Petra Niaga menjadi salah satu bukti lemahnya perlindungan terhadap pekerja. Buruh yang bekerja sebagai awak tangki menuntut kepastian kerja karena kontrak mereka terus diperpanjang tanpa kejelasan status tetap, meskipun pekerjaan mereka bersifat permanen.
Desentralisasi Belum Maksimal
Hara menyebut bahwa salah satu solusi struktural yang harus diperkuat adalah desentralisasi pemerintahan. Meski Indonesia telah menerapkan otonomi daerah sejak tahun 1999, pelaksanaannya masih menghadapi berbagai tantangan.
"Desentralisasi yang efektif memberi ruang bagi daerah untuk menyesuaikan kebijakan sesuai kebutuhan lokal. Tapi tanpa kapasitas SDM dan sistem pengawasan yang baik, desentralisasi malah bisa menambah masalah," kata Hara.
Ia menyoroti ketimpangan fiskal antarwilayah dan lemahnya tata kelola anggaran sebagai hambatan utama dalam pemerataan pembangunan. Daerah dengan sumber daya terbatas sering kesulitan menjalankan fungsi otonomi secara optimal.
Korupsi Hambat Pemerataan
Dalam hal pemberantasan korupsi, Hara mengacu pada Teori Institusional dari Douglass North yang menekankan pentingnya institusi yang bersih dan akuntabel. Ia mengatakan, korupsi telah mengalihkan sumber daya publik dari rakyat ke segelintir elit.
"Tanpa pemberantasan korupsi yang serius, kebijakan apa pun tidak akan menyentuh kelompok rentan. Transparansi dan pengawasan berbasis teknologi harus diperkuat," jelasnya.
Kebijakan Inklusif Harus Diutamakan
Selain desentralisasi dan pemberantasan korupsi, reformasi juga menuntut kebijakan yang inklusif. Mengacu pada teori keadilan sosial John Rawls, Hara menekankan bahwa negara harus memprioritaskan kelompok paling tertinggal dalam masyarakat.
Program seperti beasiswa untuk anak miskin, pelatihan kerja bagi pengangguran, dan akses kredit bagi UMKM harus diperluas dan difokuskan. Namun, ia menegaskan pentingnya data yang akurat dan partisipasi masyarakat dalam perencanaan agar kebijakan tersebut tepat sasaran.
Butuh Komitmen Politik dan Partisipasi Publik
Hara menegaskan bahwa reformasi kebijakan publik dan tata kelola bukan sekadar wacana, melainkan kebutuhan mendesak untuk menciptakan sistem yang adil dan inklusif.
“Tanpa komitmen politik yang kuat dan keterlibatan masyarakat sipil, ketimpangan akan terus melebar. Kita butuh sistem yang berpihak pada rakyat, bukan hanya elite ekonomi dan politik,” pungkasnya.
Komentar